Kajang Sebagai Sarana Pengembalian Unsur Panca Mahabhuta
Abstract
Praktik beritual di Bali tidak terlepas dari pengunaan teks atau atribut yang dipandang sakral magis. teks atau atribut sebagai media untuk menghubungkan antara pemuja dengan yang dipuja. Salah satu atribut yang menarik untuk di dibahas adalah atribut dalam upacara ngaben, yakni “Kajang”. Kajang dipergunakan sebagai peranti sakral ketika ritus kematian (ngaben) digelar. Kajang dalam bahasa bali lumrah berarti memindahkan yang dapat berarti pula “ngabein”. Dari kata “ngabein” menjadilah ngaben. Menurut keyakian pemeluk agama Hindu Bali ngaben bertujuan untuk mempercepat kembalinya ke unsur Panca Maha Bhuta. Masyarakat Hindu Bali meyakini bahwa melalui kajang sang roh akan dapat sampai dengan selamat ke Çiwa Loka (alam Çiwa). Dengan demikian kajang seolah-olah berfungsi sebagai tiket atau Pasport yang dapat mengantarkan sang roh dengan selamat sampai pada tujuan. Tidak saja demikian, kaajang dipandang memiliki makna yang lebih, karena kajang dipandang sebagai atribut sakral-magis yang dapat mengantarkan sang roh sampai pada alam para dewa atau mencapai surga dan menyatu dengan Hyang Çiwa di Çiwa Loka. Walaupun demikian sampai atau tidaknya sang roh di Çiwa Loka, masih sangat ditentukan oleh Suba-Asuba karma perbuatan baik atau buruk pada saat sang palastra (orang yang meninggal) masih hidup. Metode deskriptif kualitatif digunakan karena data yang diteliti dilapangan berupa data sosial budaya. Teks - teks yang tersurat dalam setiap lembaran kajang diyakini bersifat absolut dengan demikian maka teori yang relevan digunakan adalah teori dekonstruksi dari Derrida, karena Derrida berpandangan setiap teks selalu menghadirkan anggapan-anggapan yang dianggap absolut.
Downloads
Published
How to Cite
Issue
Section
License
BALI DWIPANTARA WASKITA (Seminar Nasional Republik Seni Nusantara) © 2021 by Institut Seni Indonesia Denpasar is licensed under Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International